Muhammad Rasyid Ridha
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, lahir di Qalmun, sebuah desa sekitar 4 km dari Tripoli, Libanon pada 27 Jumadil Awal 1282 H.; Beliau adalah bangsawan Arab yang memiliki garis keturunan langsung dari Sayyidina Husen, putera Ali bin Abu Thalib dan Fatimah puteri Rasulullah Saw.
Gelar Sayyid pada awal namanya merupakan gelar yang biasa diberikan kepada semua yang mempunyai garis keturunan tersebut.; Keluarga Ridha dikenal oleh lingkungannya sebagai keluarga yang taat beragama serta menguasai ilmu-ilmu agama sehingga mereka dikenal juga dengan sebutan Syaikh.
Salah seorang kakek Rasyid Ridha bernama Sayyid Syaikh Ahmad adalah orang yang wara' sehingga seluruh waktunya hanya digunakan untuk membaca dan beribadah, serta tidak menerima tamu kecuali sahabat-sahabat terdekat dan ulama, itupun hanya pada waktu-waktu tertentu, yaitu antara Ashar dan Maghrib. Hal yang sama juga menurun pada ayahnya sehingga Rasyid Ridha banyak terpengaruh dan belajar dari ayahnya sendiri, seperti yang ditulis dalam buku hariannya yang dikutip oleh Ibrahim Ahmad al-Adawi :
Ketika aku mencapai umur remaja, aku melihat dirumah kami pemuka-pemuka agama Kristen dari Tripoli dan Libanon, bahkan aku lihat pula pendeta-pendeta, khususnya dihari raya, aku melihat ayahku rahimahullah berbasa-basi dengan mereka sebagaimana beliau berbasa-basi dengan penguasa dan pemuka masyarakat Islam. Ayahku menyebut apa yang beliau ketahui tentang kebaikan-kebaikan mereka secara objektif, tetapi tidak dihadapan mereka. Ini adalah salah satu sebab mengapa aku menganjurkan untuk bertoleransi serta mencari titik temu dan kerjasama antara semua penduduk negeri atas dasar keadilan dan kebajikan yang dibenarkan oleh agama, demi kemajuan negara.
Setelah menamatkan pelajarannya ditaman-taman pendidikan dikampungnya yang dinamai al-Kuttab, Ridha dikirim oleh orangtuanya ke Tripoli ( Libanon ) untuk belajar di Madrasah Ibtidaiyah yang mengajarkan ilmu nahwu, shorof, akidah, fiqih, berhitung dan ilmu bumi, dengan bahasa pengantar adalah bahasa Turki, mengingat Libanon waktu itu ada dibawah kekuasaan kerajaan Usmaniah.
Ridha tidak tertarik pada sekolah tersebut, setahun kemudian dia pindah kesekolah Islam negeri yang merupakan sekolah terbaik pada saat itu dengan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar, disamping diajarkan pula bahasa Turki dan Prancis. Sekolah ini dipimpin oleh ulama besar Syam ketika itu, yaitu Syaikh Husain al-Jisr yang kelak mempunyai andil besar terhadap perkembangan pemikiran Ridha sebab hubungan keduanya tidak berhenti meskipun kemudian sekolah itu ditutup oleh pemerintah Turki. Dari Syaikh inilah Ridha mendapat kesempatan menulis dibeberapa surat kabar Tripoli yang kelak mengantarnya memimpin majalah al-Manar.
Selain Syaikh Husain al-Jisr, Rasyid Ridha juga belajar dari Syaikh Mahmud Nasyabah yang ahli dibidang hadis dan mengajarnya sampai selesai dan karenanyalah Ridha mampu menilai hadis-hadis yang dhaif dan maudhu sehingga dia digelari " Voltaire " -nya kaum Muslim karena keahliannya menggoyahkan segala sesuatu yang tidak benar dalam bidang agama. ( Voltaire adalah filosof Prancis yang mengkritik secara pedas pendapat para pemuka agama dan masyarakat Prancis pada masanya serta tokoh yang mengantar tercetusnya Revolusi Prancis tahun 1789 M ).
Ridha juga belajar dari Syaikh Abdul Gani ar-Rafi yang mengajarkannya sebagian dari kitab hadis Nailul Authar ( sebuah kitab hadis yang dikarang oleh Asy-Syaukani yang bermadzhab Syiah Zaidiyah ), al-Ustad Muhammad al-Husaini dan Syaikh Muhammad Kamil ar-Rafi dan Ridha selalu hadir dalam diskusi mereka mengenai ilmu ushul dan logika.
Selama masa pendidikannya, Sayyid Muhammad Rasyid Ridha membagi waktunya antara ilmu dan ibadah pada salah satu masjid milik keluarganya, ibunya sempat bercerita : Semenjak Muhammad dewasa, aku tidak pernah melihat dia tidur karena dia tidur baru sesudah kami bangun dan bangun sebelum kami terbangun.; Tidak itu saja, adiknya, Sayyid Shaleh pernah juga berkata : Aku tadinya menganggap saudaraku Rasyid adalah seorang Nabi. Tetapi ketika aku tahu bahwa Nabi kita Muhammad Saw adalah penutup seluruh Nabi, aku menjadi yakin bahwa dia adalah seorang wali.
Ridha menulis dalam buku hariannya :
Aku selalu berusaha agar jiwaku suci dan hatiku jernih, supaya aku siap menerima ilmu yang bersifat ilham, serta berusaha agar jiwaku bersih sehingga mampu menerima segala pengetahuan yang dituangkan kedalamnya.
Dalam rangka menyucikan jiwa inilah, Ridha menghindari makan-makanan yang lezat-lezat atau tidur diatas kasur, mengikuti cara yang dilakukan kaum sufi. Sikap ini dihasilkan oleh kegemarannya membaca kitab Ihya Ulumiddin karya Imam al-Ghazali yang dibacanya berulang-ulang hingga benar-benar mempengaruhi jiwa dan tingkah lakunya, sampai-sampai menurut Ridha, dia pernah merasakan seakan-akan mampu berjalan diatas air dan terbang diudara.
Majalah al-Urwah al-Wutsqa yang diterbitkan oleh Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh di Paris dan tersebar diseluruh dunia, ikut dibaca oleh Rasyid Ridha dan ini memberikan pengaruh besar bagi jiwanya.
Kekagumannya pada Muhammad Abduh bertambah mendalam sejak Abduh kembali ke Beirut untuk kedua kalinya tahun 1885 dan mengajar sambil mengarang, pertemuan keduanya terjadi ketika Syaikh Muhammad Abduh berkunjung ke Tripoli untuk menemui temannya, Syaikh Abdullah al-Barakah yang mengajar disekolah al-Khanutiyah.
Ridha sempat bertanya mengenai kitab tafsir terbaik menurut Abduh, dan dijawab bahwa tafsir al-Kasysyaf karya az-Zamakhsyari adalah yang terbaik karena ketelitian redaksinya serta segi-segi sastra bahasa yang diuraikannya.
Pertemuan yang kedua kali antara Abduh dan Ridha terjadi pada tahun 1894, juga di Tripoli dan kali ini Rasyid Ridha menemani Abduh sepanjang hari sehingga banyak kesempatan untuk menanyakan segala sesuatu yang masih kabur baginya.; Pertemuan ketiga terjadi lima tahun berikutnya, yaitu 18 Januari 1898 di Kairo, Mesir dan sebulan sesudah itu Rasyid Ridha mengemukakan keinginannya untuk menerbitkan surat kabar yang mengolah masalah sosial, budaya dan agama.
Meskipun awalnya Abduh tidak setuju, tetapi akhirnya beliau merestuinya dan memilihkan nama al-Manar dari sekian banyak nama yang diusulkan Ridha.
al-Manar sendiri terbit edisi perdana pada tanggal 17 Maret 1898 berupa media mingguan sebanyak delapan halaman dan mendapat sambutan hangat tidak hanya di Mesir tetapi juga negara-negara sekitarnya hingga sampai ke Eropa dan Indonesia.
Ridha memberikan perhatian lebih kepada Indonesia, terbukti bahwa dia mewudujkan Madrasah Dar ad-Da'wah wa al-Irsyad, salah satu tujuannya adalah mengirim tamatannya ke Jawa dan China, untuk penerimaan pelajarnya, diutamakan yang berasal dari Jawa, China dan daerah-daerah selain Afrika Utara.
Ridha wafat dalam sebuah kecelakaan mobil setelah mengantar Pangeran Sa'ud al-Faisal ( yang kemudian menjadi raja Saudi Arabia ) dari kota Suez di Mesir pada tanggal 22 Agustus 1935 M sembari membaca akhir ayat yang ditafsirkannya :
Wahai Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah mengaruniakan kepadaku sebagian kekuasaan dan mengajarkan kepadaku penjelasan tentang takwil mimpi. Ya Tuhan pencipta langit dan bumi, Engkaulah pelindungku didunia dan akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan sebagai Muslim dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang shaleh.
Tafsir al-Manar yang bernama Tafsir al-Quran al-Hakim memperkenalkan dirinya sebagai kitab tafsir satu-satunya yang menghimpun riwayat-riwayat yang shahih dan pandangan akal yang tegas yang menjelaskan hikmah-hikmah syariah serta sunnatullah yang berlaku terhadap manusia dan menjelaskan fungsi al-Qur'an sebagai petunjuk untuk seluruh manusia disetiap waktu dan tempat serta membandingkan antara petunjuknya dengan keadaan kaum Muslimin dewasa ini.
Tafsir al-Manar pada dasarnya merupakam hasil karya 3 tokoh Islam, yaitu Sayyid Jamaluddin al-Afghani, Syaikh Muhammad Abduh dan Sayyid Muhammad Rasyid Ridha yang mana dimuat secara berturut-turut dalam majalah al-Manar yang dipimpin oleh Ridha.
Abduh sempat menyampaikan kuliah-kuliah tafsirnya dari surah al-Fatihah sampai surah an-Nisa ayat 125 kemudian Ridha selanjutnya menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an sendirian sampai dengan ayat 52 surah Yusuf ( penafsiran Ridha sendiri sampai ayat 101 tetapi yang dimuat pada majalah al-Manar hanya sampai ayat 52 ).
Dalam beberapa hal, Rasyid Ridha lebih unggul dari gurunya, Muhammad Abduh, seperti penguasaannya dibidang hadis dan penafsiran ayat dengan ayat serta keluasan pembahasan berbagai masalah.
Disisi tertentu, Ridha pun memiliki konsep yang sama dengan Abduh, seperti penggunaan akal secara luas dalam memahami ayat-ayat al-Qur'an dan bersikap kritis atas hadis-hadis yang dianggap shahih oleh umat Islam mayoritas.
Misalnya Ridha menolak hadis Bukhari yang menceritakan mengenai tersihirnya Nabi yang tidak hanya dianalisanya dari sisi matn tetapi juga dari sisi sanadnya dimana menurut beliau Hisyam, salah seorang perawi hadis ini mendapat sorotan dan ditolak oleh ulama al-Jarh wa at-Ta'dil atau juga mengenai hadis terbelahnya bulan yang disampaikan oleh Abu Hurairah melalui jalur Ibnu Juraij yang disebutnya sudah pikun saat menceritakan hadis itu pada A'war al-Mashish.
Ridha juga mempersempit penafsiran akan hal-hal yang ghaib, misalnya dia menganggap bakteri adalah termasuk bagian dari jin yang mampu membuat orang terkena penyakit sebagaimana tafsirnya atas surah al-Baqarah ayat 275.
Rasyid Ridha, sama seperti Abduh, sangat berhati-hati menerima riwayat yang mengemukakan pendapat para sahabat Nabi sebagaimana dikutipnya kalimah as-Sayuthi dalam al-Itqan ketika menyatakan bahwa dalam kitab Fadhail al-Imam asy-Syafei karangan Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Syakir al-Qathan, terdapat satu riwayat dari Ibnu Abdil Hakam :
Aku mendengar Syafei berkata : tidak syah ( riwayat yang dinisbahkan ) kepada Ibnu Abbas menyangkut tafsir kecuali sekitar 100 hadis.
Karena itu, Ridha sangat hati-hati sekali menerima tafsir riwayat terutama dari Ibnu Abbas, contohnya saat beliau menolak tafsir Ibnu Abbas dalam menafsirkan ayat-ayat yang turun di Mekkah dengan dasar : Ibnu Abbas bukanlah salah seorang yang menghafal al-Qur'an atau meriwayatkan hadis pada periode Mekkah, karena beliau lahir tiga tahun sebelum hijrah atau lima tahun sebelumnya sehingga bisa jadi itu timbul dari pendapat pribadinya atau pendapat orang yang dia riwayatkan.
Hal dan alasan yang sama dikemukakan Ridha menyangkut umur Ibnu Abbas ketika ia menolak riwayat yang ada dalam shahih Muslim menyangkut keikut sertaan malaikat dalam perang Badar dan pendapatnya bahwa Ibnu Abbas tidak segan-segan mengambil riwayat dari orang lain meskipun sekelas Ka'ab al-Ahbar.
Rasyid Ridha menulis buku biografi gurunya, Muhammad Abduh dengan judul Tarikh al-Ustadz al-Imam, dimana disana dia dengan tegas menyatakan kekagumannya terhadap beliau, baik menyangkut ilmu pengetahuannya maupun sikap, budi pekerti serta keteguhannya beragama.
Ridha mengakui pula kekurangan gurunya dalam bidang ilmu-ilmu hadis dari segi riwayat, hapalan dan kritik al-Jarh wa at-Ta'dil sebagaimana para ulama al-Azhar adanya.
Ridha menambahkan bahwa Abduh memiliki kesamaan dengan gurunya ( Jamaluddin al-Afghani ) yaitu tidak luput dari sikap keras/pemarah tetapi Ridha masih memandangnya sebagai kewajaran bagi Abduh untuk menyandang tugas kepemimpinan perbaikan dan pembaruan masyarakat serta agama.
Disisi lain Rasyid Ridha mengecam dan banyak mengkritik secara tegas dan pedas beberapa tokoh tafsir dan penulis seperti Ibnu Jarir ath-Thabari penulis Tafsir Jami' al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an, Fakhruddin ar-Razi penulis kitab Mafatih al-Ghaib, az-Zamakhsyari penulis tafsir al-Kasysyaf, Abdullah bin Umar bin Muhammad al-Baidhawi penulis tafsir al-Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Ta'wil, Mahmud al-Alusi penulis tafsir Ruh al-Mani serta Jalaluddin as-Sayuthi penulis tafsir ad-Dur al-Mantsur.
Dalam kritik-kritiknya itu, Ridha menggunakan kata-kata orang pikun, fanatik buta, pengkhayal, penulis yang kacau, penjiplak, mufasir bodoh, penulis lelucon dan ketololan yang tidak dapat diterima akal dan tidak terdapat dalam al-Qur'an sebagai isyarat pembenar. ( detilnya baca buku ini hal 154 s/d 174 ).
Baik Abduh maupun Ridha sendiri, menurut Quraish Shihab adalah perintis jalan menuju kesempurnaan, terutama dalam hal tafsir. Dimana tafsir al-Manar ~ masih menurut beliau ~ berusaha menampilkan al-Qur'an dengan wajah yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
Sumber: http://al-imron.blogspot.com/
Salah seorang kakek Rasyid Ridha bernama Sayyid Syaikh Ahmad adalah orang yang wara' sehingga seluruh waktunya hanya digunakan untuk membaca dan beribadah, serta tidak menerima tamu kecuali sahabat-sahabat terdekat dan ulama, itupun hanya pada waktu-waktu tertentu, yaitu antara Ashar dan Maghrib. Hal yang sama juga menurun pada ayahnya sehingga Rasyid Ridha banyak terpengaruh dan belajar dari ayahnya sendiri, seperti yang ditulis dalam buku hariannya yang dikutip oleh Ibrahim Ahmad al-Adawi :
Ketika aku mencapai umur remaja, aku melihat dirumah kami pemuka-pemuka agama Kristen dari Tripoli dan Libanon, bahkan aku lihat pula pendeta-pendeta, khususnya dihari raya, aku melihat ayahku rahimahullah berbasa-basi dengan mereka sebagaimana beliau berbasa-basi dengan penguasa dan pemuka masyarakat Islam. Ayahku menyebut apa yang beliau ketahui tentang kebaikan-kebaikan mereka secara objektif, tetapi tidak dihadapan mereka. Ini adalah salah satu sebab mengapa aku menganjurkan untuk bertoleransi serta mencari titik temu dan kerjasama antara semua penduduk negeri atas dasar keadilan dan kebajikan yang dibenarkan oleh agama, demi kemajuan negara.
Setelah menamatkan pelajarannya ditaman-taman pendidikan dikampungnya yang dinamai al-Kuttab, Ridha dikirim oleh orangtuanya ke Tripoli ( Libanon ) untuk belajar di Madrasah Ibtidaiyah yang mengajarkan ilmu nahwu, shorof, akidah, fiqih, berhitung dan ilmu bumi, dengan bahasa pengantar adalah bahasa Turki, mengingat Libanon waktu itu ada dibawah kekuasaan kerajaan Usmaniah.
Ridha tidak tertarik pada sekolah tersebut, setahun kemudian dia pindah kesekolah Islam negeri yang merupakan sekolah terbaik pada saat itu dengan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar, disamping diajarkan pula bahasa Turki dan Prancis. Sekolah ini dipimpin oleh ulama besar Syam ketika itu, yaitu Syaikh Husain al-Jisr yang kelak mempunyai andil besar terhadap perkembangan pemikiran Ridha sebab hubungan keduanya tidak berhenti meskipun kemudian sekolah itu ditutup oleh pemerintah Turki. Dari Syaikh inilah Ridha mendapat kesempatan menulis dibeberapa surat kabar Tripoli yang kelak mengantarnya memimpin majalah al-Manar.
Selain Syaikh Husain al-Jisr, Rasyid Ridha juga belajar dari Syaikh Mahmud Nasyabah yang ahli dibidang hadis dan mengajarnya sampai selesai dan karenanyalah Ridha mampu menilai hadis-hadis yang dhaif dan maudhu sehingga dia digelari " Voltaire " -nya kaum Muslim karena keahliannya menggoyahkan segala sesuatu yang tidak benar dalam bidang agama. ( Voltaire adalah filosof Prancis yang mengkritik secara pedas pendapat para pemuka agama dan masyarakat Prancis pada masanya serta tokoh yang mengantar tercetusnya Revolusi Prancis tahun 1789 M ).
Ridha juga belajar dari Syaikh Abdul Gani ar-Rafi yang mengajarkannya sebagian dari kitab hadis Nailul Authar ( sebuah kitab hadis yang dikarang oleh Asy-Syaukani yang bermadzhab Syiah Zaidiyah ), al-Ustad Muhammad al-Husaini dan Syaikh Muhammad Kamil ar-Rafi dan Ridha selalu hadir dalam diskusi mereka mengenai ilmu ushul dan logika.
Selama masa pendidikannya, Sayyid Muhammad Rasyid Ridha membagi waktunya antara ilmu dan ibadah pada salah satu masjid milik keluarganya, ibunya sempat bercerita : Semenjak Muhammad dewasa, aku tidak pernah melihat dia tidur karena dia tidur baru sesudah kami bangun dan bangun sebelum kami terbangun.; Tidak itu saja, adiknya, Sayyid Shaleh pernah juga berkata : Aku tadinya menganggap saudaraku Rasyid adalah seorang Nabi. Tetapi ketika aku tahu bahwa Nabi kita Muhammad Saw adalah penutup seluruh Nabi, aku menjadi yakin bahwa dia adalah seorang wali.
Ridha menulis dalam buku hariannya :
Aku selalu berusaha agar jiwaku suci dan hatiku jernih, supaya aku siap menerima ilmu yang bersifat ilham, serta berusaha agar jiwaku bersih sehingga mampu menerima segala pengetahuan yang dituangkan kedalamnya.
Dalam rangka menyucikan jiwa inilah, Ridha menghindari makan-makanan yang lezat-lezat atau tidur diatas kasur, mengikuti cara yang dilakukan kaum sufi. Sikap ini dihasilkan oleh kegemarannya membaca kitab Ihya Ulumiddin karya Imam al-Ghazali yang dibacanya berulang-ulang hingga benar-benar mempengaruhi jiwa dan tingkah lakunya, sampai-sampai menurut Ridha, dia pernah merasakan seakan-akan mampu berjalan diatas air dan terbang diudara.
Majalah al-Urwah al-Wutsqa yang diterbitkan oleh Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh di Paris dan tersebar diseluruh dunia, ikut dibaca oleh Rasyid Ridha dan ini memberikan pengaruh besar bagi jiwanya.
Kekagumannya pada Muhammad Abduh bertambah mendalam sejak Abduh kembali ke Beirut untuk kedua kalinya tahun 1885 dan mengajar sambil mengarang, pertemuan keduanya terjadi ketika Syaikh Muhammad Abduh berkunjung ke Tripoli untuk menemui temannya, Syaikh Abdullah al-Barakah yang mengajar disekolah al-Khanutiyah.
Ridha sempat bertanya mengenai kitab tafsir terbaik menurut Abduh, dan dijawab bahwa tafsir al-Kasysyaf karya az-Zamakhsyari adalah yang terbaik karena ketelitian redaksinya serta segi-segi sastra bahasa yang diuraikannya.
Pertemuan yang kedua kali antara Abduh dan Ridha terjadi pada tahun 1894, juga di Tripoli dan kali ini Rasyid Ridha menemani Abduh sepanjang hari sehingga banyak kesempatan untuk menanyakan segala sesuatu yang masih kabur baginya.; Pertemuan ketiga terjadi lima tahun berikutnya, yaitu 18 Januari 1898 di Kairo, Mesir dan sebulan sesudah itu Rasyid Ridha mengemukakan keinginannya untuk menerbitkan surat kabar yang mengolah masalah sosial, budaya dan agama.
Meskipun awalnya Abduh tidak setuju, tetapi akhirnya beliau merestuinya dan memilihkan nama al-Manar dari sekian banyak nama yang diusulkan Ridha.
al-Manar sendiri terbit edisi perdana pada tanggal 17 Maret 1898 berupa media mingguan sebanyak delapan halaman dan mendapat sambutan hangat tidak hanya di Mesir tetapi juga negara-negara sekitarnya hingga sampai ke Eropa dan Indonesia.
Ridha memberikan perhatian lebih kepada Indonesia, terbukti bahwa dia mewudujkan Madrasah Dar ad-Da'wah wa al-Irsyad, salah satu tujuannya adalah mengirim tamatannya ke Jawa dan China, untuk penerimaan pelajarnya, diutamakan yang berasal dari Jawa, China dan daerah-daerah selain Afrika Utara.
Ridha wafat dalam sebuah kecelakaan mobil setelah mengantar Pangeran Sa'ud al-Faisal ( yang kemudian menjadi raja Saudi Arabia ) dari kota Suez di Mesir pada tanggal 22 Agustus 1935 M sembari membaca akhir ayat yang ditafsirkannya :
Wahai Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah mengaruniakan kepadaku sebagian kekuasaan dan mengajarkan kepadaku penjelasan tentang takwil mimpi. Ya Tuhan pencipta langit dan bumi, Engkaulah pelindungku didunia dan akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan sebagai Muslim dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang shaleh.
Tafsir al-Manar yang bernama Tafsir al-Quran al-Hakim memperkenalkan dirinya sebagai kitab tafsir satu-satunya yang menghimpun riwayat-riwayat yang shahih dan pandangan akal yang tegas yang menjelaskan hikmah-hikmah syariah serta sunnatullah yang berlaku terhadap manusia dan menjelaskan fungsi al-Qur'an sebagai petunjuk untuk seluruh manusia disetiap waktu dan tempat serta membandingkan antara petunjuknya dengan keadaan kaum Muslimin dewasa ini.
Tafsir al-Manar pada dasarnya merupakam hasil karya 3 tokoh Islam, yaitu Sayyid Jamaluddin al-Afghani, Syaikh Muhammad Abduh dan Sayyid Muhammad Rasyid Ridha yang mana dimuat secara berturut-turut dalam majalah al-Manar yang dipimpin oleh Ridha.
Abduh sempat menyampaikan kuliah-kuliah tafsirnya dari surah al-Fatihah sampai surah an-Nisa ayat 125 kemudian Ridha selanjutnya menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an sendirian sampai dengan ayat 52 surah Yusuf ( penafsiran Ridha sendiri sampai ayat 101 tetapi yang dimuat pada majalah al-Manar hanya sampai ayat 52 ).
Dalam beberapa hal, Rasyid Ridha lebih unggul dari gurunya, Muhammad Abduh, seperti penguasaannya dibidang hadis dan penafsiran ayat dengan ayat serta keluasan pembahasan berbagai masalah.
Disisi tertentu, Ridha pun memiliki konsep yang sama dengan Abduh, seperti penggunaan akal secara luas dalam memahami ayat-ayat al-Qur'an dan bersikap kritis atas hadis-hadis yang dianggap shahih oleh umat Islam mayoritas.
Misalnya Ridha menolak hadis Bukhari yang menceritakan mengenai tersihirnya Nabi yang tidak hanya dianalisanya dari sisi matn tetapi juga dari sisi sanadnya dimana menurut beliau Hisyam, salah seorang perawi hadis ini mendapat sorotan dan ditolak oleh ulama al-Jarh wa at-Ta'dil atau juga mengenai hadis terbelahnya bulan yang disampaikan oleh Abu Hurairah melalui jalur Ibnu Juraij yang disebutnya sudah pikun saat menceritakan hadis itu pada A'war al-Mashish.
Ridha juga mempersempit penafsiran akan hal-hal yang ghaib, misalnya dia menganggap bakteri adalah termasuk bagian dari jin yang mampu membuat orang terkena penyakit sebagaimana tafsirnya atas surah al-Baqarah ayat 275.
Rasyid Ridha, sama seperti Abduh, sangat berhati-hati menerima riwayat yang mengemukakan pendapat para sahabat Nabi sebagaimana dikutipnya kalimah as-Sayuthi dalam al-Itqan ketika menyatakan bahwa dalam kitab Fadhail al-Imam asy-Syafei karangan Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Syakir al-Qathan, terdapat satu riwayat dari Ibnu Abdil Hakam :
Aku mendengar Syafei berkata : tidak syah ( riwayat yang dinisbahkan ) kepada Ibnu Abbas menyangkut tafsir kecuali sekitar 100 hadis.
Karena itu, Ridha sangat hati-hati sekali menerima tafsir riwayat terutama dari Ibnu Abbas, contohnya saat beliau menolak tafsir Ibnu Abbas dalam menafsirkan ayat-ayat yang turun di Mekkah dengan dasar : Ibnu Abbas bukanlah salah seorang yang menghafal al-Qur'an atau meriwayatkan hadis pada periode Mekkah, karena beliau lahir tiga tahun sebelum hijrah atau lima tahun sebelumnya sehingga bisa jadi itu timbul dari pendapat pribadinya atau pendapat orang yang dia riwayatkan.
Hal dan alasan yang sama dikemukakan Ridha menyangkut umur Ibnu Abbas ketika ia menolak riwayat yang ada dalam shahih Muslim menyangkut keikut sertaan malaikat dalam perang Badar dan pendapatnya bahwa Ibnu Abbas tidak segan-segan mengambil riwayat dari orang lain meskipun sekelas Ka'ab al-Ahbar.
Rasyid Ridha menulis buku biografi gurunya, Muhammad Abduh dengan judul Tarikh al-Ustadz al-Imam, dimana disana dia dengan tegas menyatakan kekagumannya terhadap beliau, baik menyangkut ilmu pengetahuannya maupun sikap, budi pekerti serta keteguhannya beragama.
Ridha mengakui pula kekurangan gurunya dalam bidang ilmu-ilmu hadis dari segi riwayat, hapalan dan kritik al-Jarh wa at-Ta'dil sebagaimana para ulama al-Azhar adanya.
Ridha menambahkan bahwa Abduh memiliki kesamaan dengan gurunya ( Jamaluddin al-Afghani ) yaitu tidak luput dari sikap keras/pemarah tetapi Ridha masih memandangnya sebagai kewajaran bagi Abduh untuk menyandang tugas kepemimpinan perbaikan dan pembaruan masyarakat serta agama.
Disisi lain Rasyid Ridha mengecam dan banyak mengkritik secara tegas dan pedas beberapa tokoh tafsir dan penulis seperti Ibnu Jarir ath-Thabari penulis Tafsir Jami' al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an, Fakhruddin ar-Razi penulis kitab Mafatih al-Ghaib, az-Zamakhsyari penulis tafsir al-Kasysyaf, Abdullah bin Umar bin Muhammad al-Baidhawi penulis tafsir al-Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Ta'wil, Mahmud al-Alusi penulis tafsir Ruh al-Mani serta Jalaluddin as-Sayuthi penulis tafsir ad-Dur al-Mantsur.
Dalam kritik-kritiknya itu, Ridha menggunakan kata-kata orang pikun, fanatik buta, pengkhayal, penulis yang kacau, penjiplak, mufasir bodoh, penulis lelucon dan ketololan yang tidak dapat diterima akal dan tidak terdapat dalam al-Qur'an sebagai isyarat pembenar. ( detilnya baca buku ini hal 154 s/d 174 ).
Baik Abduh maupun Ridha sendiri, menurut Quraish Shihab adalah perintis jalan menuju kesempurnaan, terutama dalam hal tafsir. Dimana tafsir al-Manar ~ masih menurut beliau ~ berusaha menampilkan al-Qur'an dengan wajah yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
Sumber: http://al-imron.blogspot.com/
Comments :
0 komentar to “Muhammad Rasyid Ridha”
Posting Komentar